Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia, atau Jacatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan : 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 9.588.198 jiwa (2010).[4] Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 23 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.
Jakarta Rawan Perubahan Iklim
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menempati peringkat pertama sebagai daerah yang rentan perubahan iklim se-Asia Tenggara berdasarkan survei Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA).
Direktur EEPSEA Herminia Fransisco dalam seminar “Peta Kerentanan Perubahan Iklim Asia Tenggara: Perpektif Indonesia” di Jakarta, Kamis (7/5), mengatakan, data tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan selama enam bulan dengan mengambil sampel sebanyak 530 daerah di Asia Tenggara.
“Wilayah Jakarta sangat rentan terhadap bencana dengan yang terkait perubahan iklim, salah satunya akibat dari tingginya angka kepadatan penduduk,” kata Herminia.
Bencana perubahan iklim tersebut dicontohkannya, seperti banjir, kekeringan, meningkatnya permukaan, dan tanah longsor.
Dalam data tersebut disebutkan, setiap kenaikan air laut setinggi 1 meter sama dengan merendam daerah berpenduduk 10.763.734 jiwa.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar dalam kesempatan itu mengimbau, masyarakat hendaknya peduli atas kondisi kepadatan penduduk yang menjadi salah satu penyebab kerentanan perubahan iklim.
“Kepedulian masyarakat dalam mengatasi kerentanan perubahan iklim, khususnya masalah kepadatan penduduk, dapat dilakukan dengan hanya menjadikan Jakarta kota transit saja, bukan sebagai kota tempat tinggal,” katanya.
Sumber: KCM
Pernik-Pernik Lalu Lintas Kota Jakarta
Kemacetan jalan-jalan kota Jakarta sudah hampir merata disetiap ruas jalan terutama pada jalur-jalur jalan utama termasuk jalan arteri maupun jalan Tol.
Mengapa Jakarta menjadi kota macet ?????
Beberapa variabel yang membuat Jakarta semakin macet:
1. Pertumbuhan jalan jauh lebih kecil dari pada pertumbuhan Kendaraan.
2. Traffic light yang ada sudah tak mampu mengatur jumlah kendaraan yang akan lewat.
3. Titik tabrak pada persimpangan terlalu banyak dan putaran yang tidak teratur.
4. Penyempitan pada jalan-jalan yang dijadikan koridor busway.
5. Sikap pengemudi/pengendara yang semakin tak disiplin.
Dari kelima variabel tersebut satu sama lain saling berkaitan dan sudah sangat susah untuk dibenahi dalam waktu dekat tanpa ada kemauan dari pada pihak penentu kebijakan dan juga para pemakai jalan itu sendiri.
Bila ditinjau dari pertumbuhan jalan dibandingkan dengan pertumbuhan kendaraan yang tidak sebanding, dapat dipastikan jalan-jalan di setiap sudut Kota Jakarta semakin hari semakin merata macetnya, terutama di setiap persimpangan jalan. Hal tersebut dikarena pesatnya pertumbuhan kendaraan.
Dengan banyaknya persilangan sebidang baik pada jalan utama maupun antara jalan utama dengan jalan kecil semakin menambah fenomena macet yang harus di emban oleh Kota Jakarta.
Untuk hal ini perlu kiranya di analisa lebih lanjut pengaturan jalan-jalan seperti berikut ini:
* Sarana Konstruksi Jalan harus bisa mengatur gerak kendaraan, misalnya setiap persimpangan wajib belok kiri dan di atur tempat perputarannya (hal tersebut untuk memperkecil titik tabrak), dan lampu pengatur lalu lintas harus segera diperkecil, kalau dapat segera ditiadakan.
* Diatur jalur perputaran dengan konstruksi jalan yang memadai, dengan kebijakan kendaraan bergerak atau tidak ngetem pada persimpangan, jadi tempat pemberhentian kendaraan umum harus disediakan yang cukup memadai dan kendaraan tidak boleh melakukan naik/turun penumpang seenaknya. Dan saat ini yang sudah tercipta pada angkutan umum adalah naik/turun penumpang dimana saja sudah tak peduli, dan lagi sudah tak nyaman bagi penumpangnya (apa boleh buat harus diterima dengan pasrah).
* Pada persimpangan jalan utama dengan jalan yang lebih kecil, agar disediakan ruang konstruksi yang cukup lebar pada ujung jalan (minimum 50 meter) sehingga bila kendaraan berpas-pasan dapat bergerak dengan leluasa.
* Sementara terdapat keinginan untuk membatasi tahun pembuatan kendaraan, hal itu tidak akan banyak membantu mengurangi kemacetan. Untuk hal ini sebaiknya yang harus dilakukan adalah menerapkan kebijakan pajak kendaraan progresif, sehingga akan terjadi kendaraan yang tua harus membayar pajak lebih besar setiap tahun.
Oleh karena itu sarana dan prasarana transportasi Kota Jakarta harus segera dibenahi agar jalur-jalur jalan tidak semakin menjadi neraka bagi warganya.
Ga terasa kota Jakarta sudah sangat tua tapi biar banyak penduduk yg beraneka ragam tetapai disinilah tempat semua org mengadu nasib iya itu “Kota Jakarat”
wah udah tua banget ya...
tapi, seperti lagunya anggun...
kota jakarta itu Tua-Tua Keladi...
makin tua makin menjadi....
semakin tua kota jakarta, semakin maju peradabannya....
semoga kota Jakarta, semakin jaya, dan aman...
Ref: Diposkan oleh ADHYS' e-PRIMBON
Google
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar